Cheer Musim 1 : Tentang Darah, Air Mata dan Cedera

US  
Poster docuseries Netfilx Cheer musim tayang pertama. Sumber : the Echo
Poster docuseries Netfilx Cheer musim tayang pertama. Sumber : the Echo

Saya tidak pernah menyangka akan menikmati olahraga cheerleaders. Apa pun bentuknya. Penampilan langsung, film, buku atau dokumenter. Dulu saya pernah tahu ada film berjudul Bring it On. Tapi saya tidak pernah menontonnya.

Sampai akhirnya Cheer. Sudah lama saya mendengar respon positif dokumenter olahraga Netflix ini. Awalnya saya tidak tertarik. Tapi saya pikir saya juga tidak tertarik dengan olahraga otomotif tapi sangat menikmati Formula One: Drive to Survive.

Saya akhirnya memberi kesempatan pada Cheer dan menonton episode pertama musim tayang pertamanya. Lalu saya menyaksikan sesuatu yang tidak pernah saya tahu sebelumnya. Betapa menyakitkannya olahraga cheerleading.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Betapa banyak pengorbanan yang harus dilakukan para atletnya. Darah, airmata dan cedera. Satu hal yang paling mengganjal bagi saya para atlet itu hanya memiliki jenjang karir sampai tingkat perguruan tinggi.

Tidak ada jenjang karir atlet cheerleaders profesional bahkan di Amerika. Sehingga karir mereka berhenti sampai mereka lulus kuliah, itu pun bukan sarjana penuh hanya diploma. Setelah itu mereka bisa melanjutkan ke jenjang universitas untuk mendapatkan gelar sarjana.

Tapi itu tidak menghentikan para atlet dalam dokumenter Cheer mengerahkan seluruh waktu, energi, pikiran, tenaga dan segala yang mereka miliki untuk olahraga ini. Saya melihat tidak melihat tinjauan negatif tentang dokumenter ini.

Saya melihat kritik terhadap isi cerita atau konten dari Cheer yaitu kejamnya lanskap olahraga perguruan tinggi Amerika. Para atletnya tidak dibayar, tapi mereka mengerahkan semuanya untuk kemenangan.

Amanda Mull dari the Atlantic mengkritik keras karakter utama dokumenter ini, pelatih Navarro Collage, Monica Aldama yang begitu keras pada atlet-atletnya. Bagimana atlet TT dan Monica harus latihan menahan rasa sakit dari cedera yang mereka alami sampai menangis di depan kamera.

Mull mengkritik gaya diktator Aldama yang menurutnya memanfaatkan kerapuhan dan kerentanan anak-anak keluarga broken home untuk mencapai kemenangan. Para atlet di Cheer memang terkesan memberikan segalanya untuk pelatih mereka sebagai balasan atas kehangatan, perhatian, dan kedisplinan yang ia berikan.

Tapi hampir semua pelatih dalam dokumenter olahraga Netflix sangat demanding. Seperti Last Chance U American Football dan Basketball. Bahkan didokumenter olahraga profesional seperti di the Last Dance dan Drive to Survive.

Para pelatih yang menjadi subjek dokumenter Netflix biasanya sangat keras, tegas dan kompetitif. Saya kira harusnya memang seperti itu agar konflik, karakter, dan plot dapat berkembang.

Cheer membuka banyak perspektif. Bagaimana cheerleading itu sangat feminim sekaligus ultra-maskulin. Bagaimana menghempaskan tubuh ke udara dengan resiko menghantam tanah menjadi obsesi yang begitu brutal.

Olahraga ini kerap dipandang sebelah mata. Tidak masuk cabang olahraga olimpiade, tidak ada kompetisi profesional, garis antara olahraga dan hiburan juga kabur. Tapi tidak berarti mereka yang ada didalamnya sekedar bersenang-senang.

Cheerleading juga membutuhkan pengorbanan. Terutama karena resiko cedera jangka panjang dan ketidakjelasan karir di masa depan. Mereka yang berkecimpung di dalamnya hanya orang-orang yang begitu mencintai olahraga ini.

Satu hal yang saya pelajari dari para atlet di Cheer dan cheerleading pada umumnya. Hidup mereka seperti satu tarikan napas, tarik, hembuskan. Karena hidup begitu singkat mereka benar-benar melakukan apa yang mereka cintai.

Tidak perlu ada alasan. Mengapa, kenapa, bagaimana. Lakukan yang terbaik. Bahagia. Selesai.

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

0

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image